[Sarapan Pagi, Kompas] Antara Harry dan Bing
Jakarta, KCM
Meninggalnya Harry Roesli memukul kenangan indah atau sebagian optimisme hidup kita, serupa saat Bing Slamet berpulang 30 tahun silam.
Tentang Harry Roesli tentu semua orang sudah tahu atau masih ingat. Namun nama Bing Slamet tentunya asing bagi mereka yang hanya mengenalnya dari literatur atau pun film-filmnya.
Pada masa hidupnya Bing Slamet adalah "Presiden Lawak" Indonesia. Ia adalah ikon dunia lawak Indonesia yang saat itu berkutat pada tiga media: radio (RRI), televisi (TVRI) dan panggung-panggung musik. Bersama grupnya, Kwartet Jaya (Ateng-Iskak-Eddy Sud), Bing selalu ditunggu rakyat Indonesia, karena humornya yang baru, sederhana dan kerakyatan.
Bing Slamet pula yang kemudian mempopulerkan film serial layar lebar. Ia membuat serial seperti Bing Slamet Setan Jalanan, Bing Slamet Sibuk, Dukun Palsu dan Koboi Cengeng. Setelah meninggal, film serial komedi layar lebar ini kemudian dilanjutkan para pelawak lainnya seperti Ateng, Benyamin Suaeb dan puncaknya serta paling lengedaris adalah Warkop DKI (Dono-Kasino-Indro) pada dekade 1980-an.
Bing Slamet yang juga seniman musik adalah tipikal seniman yang inovatif dan kaya ide. Setiapkali tampil, baik di media televisi atau pun panggung, penonton tertawa untuk sesuatu yang baru. Sebagian besar dilakukan secara spontan. Mislanya lawan bicaranya berkata dalam bahasa Inggris,"...How do you do?" Bing secara spontan menjawab,"In De Hoy..." Apa hubungannya?
Optimisme masyarakat seolah lekat pada sosok Bing tanpa tahu persis masalah yang ia hadapi. Ketika Bing jatuh di panggung beberapa bulan menjelang kematiannya, semua orang tetap tertawa karena menaganggap itu bagian dari lawakannya. Sebagian besar penonton tetap tak sadar bahwa Bing jatuh sebagai ekses penyakit lever yang diiidapnya.
Dalam masa istirahatnya pun, masyarakat tetap mengharapkan keceriaan dari Bing. Pada acara TVRI sebulan sebelum meninggal, Bing mengatakan, "Maunya saya sih menjadi leveransir. Apa daya yang saya dapat hanya (penyakit) levernya doang." Begitu kreatif dan optimistis sehingga semua orang yakin Bing akan pulih kembali.
Nyatanya tidak. Pada 17 Desember 1974, Bing Slamet meninggal dunia pada usia 47 tahun. Ribuan orang yang kehilangan kenangan indah dan optimisme hidup melalui sosok ini kemudian mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir.
Bisa jadi kita bersikap serupa terhadap seniman serba bisa Harry Roesli. Kita selalu terpesona dengan betapa jail namun kreatifnya seniman Bandung ini. Saat pertamakali tersiar kabar Harry Roesli terserang penyakit jantung dan harus di bawa ke Jakarta menggunakan helikopter (ternyata pesawat carteran), sebagian orang menganggap ini bagian dari "kejailan" Harry.
Dan saat Harry harus menjalani perawatan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta, kita tetap tidak pernah terpikir sesuatu yang sangat buruk dapat terjadi pada orang yang berbulan-bulan menghibur dengan akronim-akronimnya saat menjadi juri ajang Akademi Fantasi Indosiar (AFI) tersebut.
Dan menang pada hari-hari sebelum hari meninggalnya pada Sabtu (11/12) lalu kita samasekali tidak mendapat gambaran buruk tentang Harry. Mereka yang menengok pun tidak pernah berpikir hal itu.
Setelah kematiannya, seniman Putu Wijaya menceritakan tentang rencana penulisan otobiografi dengan halaman-halaman kosong, atau pun rencana pameran lukisan dengan kanvas kosong yang menurut Putu bisa diartikan sebagai firasat. Namun buat sebagian awam yang hanya mengenal nyelenehnya Harry, firasat dapat dianggap sebagai bagian dari kebengalan Djauhar Zaharsjah Fachrudin Roesli, nama lengkap Harry.
Kita baru berhenti memaknai semua perilaku Harry sebagai kejailan saat berita kematiannya tersiar pada Sabtu lalu.
Setelah Bing Slamet meninggal pada 1974, ada usaha untuk terus mengenang keberadaannya melalui karya-karyanya. Makanya ada lomaba mirip Bing Slamet, lomba paduan suara dan lomba nyanyi lagu-lagu karya Bing. Bahkan pencipta lagu Titiek Puspa mencipta lagu "Bing" yang kemudian menjadi sangat populer.
Kita mengenang sosok Harry Roesli dengan segala kebengalannya, ide-idenya yang tak pernah kering. Tentang keakrabannya dengan semua orang, serta gaya kepemimpinannya yang tidak pernah meremehkan atau memburukkan para juniornya. Namun kita memang butuh melestarikan karya-karya tersebut untuk juga melestarikan optimisme anak-anak kandungnya, anak-anak didiknya atau masyarakat yang pernah mengenal pemikirannya lewat lagu-lagunya. Agar kesendirian sepeninggal Harry Roesli dtaik akan mematikan semua yang telah dibangunnya.
Seperti yang dituangkan dalam sebuah lagu di album DKSB, "Kuda Rock N Roll" (1988):
....Kesunyian kian mencekammencekam di dalam kesendiriantertawa harus lepasku tak mau diketahui dalam kedukaan
Merpati terbang kian kemaridiri pribadi harus dijagawalau dalam kesendiriansikap dan batin harus tetap tegar
Tuhan mencintaimu....Tuhan mencintaimu ...
Ya Tuhan mencintaimu Kang Harry..
(Tjahjo Sasongko)
cay@kompas.com
Catatan:
In De Hoy = pacaran
Leveransir = penyalur bahan kebutuhan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment