"Semasa kecil ia pernah bercita-cita menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Namun tidak kesampaian karena ia menggunakan kaca mata minus. Saat ini kegiatannya lebih banyak dihabiskan dengan menjadi mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta".
Lama tak terdengar setelah tak lagi menjabat Ketua Umum Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Akbar Tandjung kembali dalam dunia perpolitikan. Namun bukan dalam politik praktis, melainkan studi politik.
Lahir di desa Sorkam, sekitar 30 km dari kota Sibolga (Tapanuli Tengah - Sumut), pada 14 Agustus 1945 dengan nama lengkap Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung, mantan Ketua Umum DPR RI tersebut mendirikan Akbar Tandjung Insitute (ATI), lembaga studi dengan kajian bidang politik. awal Mei lalu, mantan menteri di era Orde Baru itu menggelar acara pembukaan ATI di sebuah hotel berbintang.
Pada umur 7 tahun, Akbar yang merupakan anak ke-13 dari 16 bersaudara, putra-putri pasangan Zahiruddin dan Hj Siti Kasmijah, sudah menjadi yatim. Dunia politik praktis sangat dekat dengan kehidupan Akbar Tandjung kecil. Ini dikarenakan almarhum ayahnya, Zahiruddin, seorang pengurus Muhammadiyah di Sorkam, disamping sebagai seorang pedagang yang sukses. Beberapa orang kakaknya bahkan menjadi tokoh dari beberapa partai atau organisasi massa pada saat itu.
Kehidupan Akbar diwaktu kecil menurut keluarganya biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol apalagi Akbar kecil bisa dibilang merupakan anak yang pendiam. Bahkan disaat kecil ia pernah bercita-cita ingin menjadi anggota TNI Angkatan Laut, namun tidak dilaksanakannya karena ia memakai kaca mata minus.
Saat menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan aktif berorganisasi, nama Akbar Tandjung mulai berkibar. Keterlibatannya didunia politik saat ia yang tergabung dalam gerakan mahasiswa dalamt penggayangan G-30-S PKI melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia (KAMI- UI) dan Laskar Ampera "Arief Rahman Hakim". Akbar merupakan salah satu aktivis dari Angkatan 66.
Pada tahun 1967 hingga 1968, ia menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan aktif dalam Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dam Mejelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta (1969) dan Ketua Umum Pengurus Besar HMI (1972 - 1974).
Ia juga terlibat dalam pendirian Forum Komunikasi Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter (GMNI, PMKRI, PMII, GMNI, HMI) dengan nama Kelompok Cipayung), mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI, 1973) kemudian 1978 sampai 1981 menjadi ketua umumnya. Mendirikan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan menjadi ketuanya pada tahun 1978.
Setelah malang melintang di Partai Golkar, Akbar Tandjung berhasil menjadi ketua umum pada tahun 1998 - 2003, namun kalah dari Jusuf Kalla pada tahun 2004 yang lalu. Sejak saat itu, Akbar Tandjung seakan tenggelam dari dunia politik praktis.
Terlalu aktif berorganisasi dan berjuang, membuat Akbar Tandjung terlambat meraih gelar insinyurnya. Bahkan baru menikah tahun 1981 menjelang usia 36 tahun, dengan seorang putri Solo bernama Dra. Krisnina Maharani, MSi. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang putri yaitu Fitri Krisnawati, Karnia Krissanty, Triana Krisandiri, dan Sekar Krisnauli.
Meski karier politiknya cemerlang, namun Akbar Tandjung juga tak luput dari masalah. Beberapa kasus yang melilit Akbar Tandjung antara lain pada Juli 2000, Akbar Tandjung dituding menyelewengkan duit negara mencapai Rp 179,9 milyar. Diduga hal tersebut dilakukan saat Akbar menjabat sebagai Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) pada priode April 1993 hingga Maret 1998.
Keseluruhan dana yang diduga disalahgunakan Akbar itu berasal dari Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum), dimana Akbar menjabat sebagai ketua badan pertimbangan dalam penyelenggaraan tabungan tersebut. Seluruh pegawai negeri dipotong gajinya untuk mendapatkan fasilitas perumahan.
Akbar Tanjung dituduh memasukkan dana tersebut ke beberapa bank yang bunga depositonya terbilang rendah. Misalnya, Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang bunganya hanya 3 persen, Bank Tabungan Negara (BTN) 8 persen, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) 12 persen. Perumnas juga diberi pinjaman dengan bunga hanya 8 persen. Padahal, saat itu bunga di bank lain mencapai 20 persen setahun. Dari selisih bunga yang tinggi inilah kabarnya yang kemudian ditilap Akbar untuk dijadikan dana kampanye Golkar.
Namun, dengan menyodorkan bukti-bukti yang dimilikinya, Akbar dinilai bukan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut. Tahun 2001, Akbar kembali ditimpa masalah. Namun kali ini berhubungan dengan keluarganya, yang terkait penggelapan tanah keluarga di kawasan Srengseng, Kebon Jeruk Jakarta Barat.
Bahkan dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog Rp. 40 miliar, Akbar Tandjung sempat menjadi tersangka. Namun setelah mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonisnya tiga tahun penjara, Akbar Tandjung dinyatakan bebas dan tidak terbukti bersalah pada kasus korupsi tersebut.
Mengenai pendirian Akbar Tandjung Institute (ATI), Akbar menyatakan sebagai wadah untuk membangun dunia politik yang lebih demokratis. Bukan persiapan dirinya maju ke panggung politik. Menurutnya, pendirian lembaga tersebut karena dunia politik yang digelutinya selama 40 tahun sudah mendarah daging.
Mengenai kemelut yang terjadi ditubuh partai politik, dikatakan Akbar adalah hal biasa terutama dalam mencari pimpinan tertinggi partai, namun konflik tersebut harus ada penyelesaiannya sehingga tidak menjadi berkepanjangan. "Jika elit partai terus bertikai, masyarakat awam akan semakin apatis dan demokratisasi bakal terkena getahnya," tandasnya.(Indah J Sibarani)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment